function slider_option(){ $con = '
'; echo $con; } add_action('web_footer','slider_option');Download file update dari kami |
Manajemen Konflik |
BERITA | |||
Sabtu, 06 Maret 2010 15:24 | |||
Tugas Polri saat ini semakin berat dalam menghadapi kekerasan-kekerasan kelompok masyarakat. Kekerasan kelompok yang merupakan dampak dari dinamika kehidupan masyrakat, berbangsa dan bernegara saat ini adalah puncak dari konflik-konflik sosial yang terjadi di masyarakat. Untuk memelihara kamtibmas di tengah konflik sosial yang memuncak tersebut, pengetahuan tentang manajemen konflik sangat diperlukan oleh setiap Perwira Polri. Berikut adalah sedikit tulisan tentang manajemen konflik yang mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua. a. Hakekat konflik sosial Konflik dapat diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, pertikaian, pertentangan, benturan, atau clash antar manusia. Konflik bisa timbul bila ada perbedaan pendapat, pandangan, nilai, cita- cita, keinginan, kebutuhan, perasaan, kepentingan, kelakuan, atau kebiasaan. Perbedaan seperti itu bisa dialami di berbagai bidang kehidupan, seperti kebudayaan, agama, politik, ekonomi-sosial, ilmu pengetahuan dan pendidikan, dunia bisnis, pemerintahan, bahkan juga dalam bidang rekreasi dan gaya hidup. Konflik dapat terjadi pada tingkatan personal dan pada tingkatan kelompok. Konflik sosial berati konflik yang terjadi dalam kelompok dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Meliala (2007) menegaskan bahwa konflik sosial adalah “situasi yang mengacu pada perbedaan tujuan serta kepentingan yang tajam antar orang per orang atau cara yang dipilih oleh orang per orang dalam mengatasi perbedaan tujuan dan kepentingan”. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, konflik sosial sebenarnya merupakan kewajaran selama tidak menggunakan unsur pemaksaan dan kekerasan sebagai jalan keluarnya. Hal ini karena sering ada perbedaan kepentingan (conflic of interest) antara pemerintah yang berkuasa dengan mayarakat, sementara itu dalam kehidupan demokratis setiap orang bebas dalam menentukan pilihan (preferrence), sehingga kemungkinan terjadinya benturan selalu ada. Namun, benturan-benturan tidak selalu berkembang menjadi konflik, karena bisa saja masing-masing pihak bersedia mengalah demi kepentingan bersama, atau kepentingan yang lebih besar. Permasalahannya, apabila konflik sosial yang terjadi sudah dinyatakan ke luar dan masing-masing pihak yang terlibat didalamnya tidak mau saling mengalah, serta diikuti dengan gerakan-gerakan ke arah pemaksaan kehendak atau melalui kekerasan, maka konflik tersebut dapat menghilangkan rasa damai, persaudaraan, persatuan dan kesatuan, atau dapat menciptakan ketegangan, permusuhan, keresahan, ketakutan, kebencian, meracuni hidup bersama di masyarakat, dan mengancam keamanan dan ketertiban hidup bermasyarakat. Adakalanya konflik dapat diatasi dengan mengadakan komunikasi dan negoisasi yang baik. Akan tetapi, sering kali konflik-konflik tidak dapat dengan mudah diselesaikan, tidak dapat diatasi, berlarut-larut, dan bermuara kepada timbulnya kekerasan dan perilaku anarkhis. Dalam keadaan seperti itu, perlu dicari strategi khusus untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik agar konflik tersebut dapat diselesaikan dengan baik tanpa harus ada kekerasan. Selanjutnya Meliala (2007) menyatakan bahwa berdasar atas eskalasinya, konflik sosial dapat berwujud pada:
b. Jenis-jenis konflik sosial Konflik-konflik sosial yang terjadi dapat berupa konflik horisontal dan konflik vertikal.
Konflik horisontal adalah konflik yang terjadi antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain. Hadiati (2007:8) menyebutkan bahwa “konflik horizontal merupakan pertentangan antara suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Konflik horizontal antara lain dapat berupa tawuran, pertikaian antar kelompok, anarkisme dan lain-lain.
Hadiati (2007:8) menyatakan bahwa konflik vertikal adalah pertentangan kelompok masyarakat dengan pemerintah. Konflik ini dapat berupa aksi mogok, boikot, unjuk rasa, kerusuhan, anarkisme dan lain sebagainya. Berdasarkan hal di atas, dapat dipahami bahwa Konflik vertikal adalah konflik yang terjadi dalam lapis kekuasaan yang berbeda, dimana yang satu memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari yang lainnya. Misalnya antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, antara pemegang kekuasaan dengan komunitas atau kelompok masyarakat, atau antara atasan dengan bawahan. Hal ini berbeda dengan konflik horisontal dimana konflik terjadi antar individu, kelompok masyarakat, atau komunitas yang satu dengan yang lain dalam lapisan yang sama. Apabila suatu bentuk konflik tidak segera mendapat penyelesaian, dapat berkembang ke bentuk konflik yang lain yang lebih kompleks. Misal, konflik horisontal dapat berkembang menjadi konflik vertikal, begitu juga dengan konflik vertikal yang dapat berkembang menjadi konflik horisontal. Adapun dampak yang ditimbulkan dari konflik sosial dapat bermacam-macam bentuk dan jenisnya. Meliala (2007) menyebutkan sebutan dari konflik sosial tersebut antara lain : kerusuhan, pertikaian, mogok/boikot, pertikaian primordial, permusuhan antar kampung, perkelahian pelajar, penghinaan agama, tawuran, pemisahan ras, main hakim sendiri, penjarahan, perlakuan berbeda. c. Sumber konflik Brogan (1989 dalam Jalal, 2002) berdasarkan hasil survai terhadap 92 konflik bersenjata di seluruh dunia pada periode waktu antara 1945 hingga 1989, tiba pada kesimpulan bahwa ‘the engine that powers most of the wars in today’s world is ethnic hostility’. Pernyataan ini menegaskan bahwa bahwa etnik merupakan dasar bagi kebanyakan konflik. Bagaimana hubungan ini bisa menjadi dasar konflik? Sebenarnya hubungan tersebut tidak begitu langsung. Banton (2000, dalam Jalal, 2002) menyatakan bahwa kekuatan hubungan itu dapat menjadi dasar bagi tindakan kolektif, apapun bentuk dan arahnya, untuk mengejar tujuan bersama. Sementara itu kelompok etnik, yang di dalamnya termasuk agama- selalu bersifat politik. Selalu ada elit politik yang sangat menguasai alam pemikiran anggota kelompok tertentu memanfaatkan solidaritas kelompok untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Hal lain yang patut diperhatikan adalah bahwa ikatan etnik selalu bersifat multidimensional yang berhimpit dengan ras, agama, dan kepentingan politik. Jelaslah, bahwa elit politik, dalam pengertian yang luas- merupakan muasal kebanyakan (namun bukan seluruh) konflik di dunia ini. Hal senada dikemukanan oleh Clausewitz (Jalal, 2002) yang berkesimpulan bahwa perang, dan juga banyak bentuk kekerasan lain, tidak lain merupakan perpanjangan dari politik. Adapun menurut Suripto (2002), sumber konflik secara umum meliputi :
Selanjutnya ditegaskan pula bahwa potensi konflik yang berkembang di Indonesia meliputi isu atau masalah yang terkait dengan:
Kedelapan isu atau masalah tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi seringkali terdapat hubungan korelasi satu sama lain sehingga pengaruhnya terhadap stabilitas keamanan dalam meluas dan mendalam. Khusus dalam kaitan dengan otonomi daerah, dimana dalam lima tahun terakhir ini merupakan persoalan yang memunculkan konflik di berbagai daerah, terdapat isu-isu sentral yang dapat menjadi sumber konflik, meliputi :
Nitibaskara (2006:234) menyebutkan pula bahwa “ dari segi kausanya (cause of conflict), secara garis besar konflik dapat dibagi menjadi dua yaitu kontemporer dan laten ”. Kelompok konflik kontemporer adalah konflik yang disebabkan karena adanya perubahan-perubahan tata sosial, politik dan ekonomi, sedangkan kelompok konflik laten merupakan konflik yang lahir dari konsekuensi dari masyarakat plural. d. Tahapan Perkembangan konflik sosial, mempunyai tahapannya sendiri, mulai dari perbedaan, ketidaksepakatan, persoalan, perselisihan, pertikaian, kekerasan, dan perang. Mulai dari tidak menggunakan kekerasan sampai menggunakan kekerasan. Konflik sosial juga dapat berawal dari masalah yang sederhana dan sifatnya pribadi kemudian berkembang ke masalah yang lebih kompleks dan melibatkan komunitas tertentu (komunal). Dalam kajian teori Spiral dari Marx Simmel (Turner, 1991) dijelaskan bahwa konflik dapat dianalogkan dengan spiral. Apabila spiral ditekan dari atas, maka akan memantul ke atas, semakin keras ditekan akan semakin keras pula pantulannya, karena itu penyelesaiannya tidak dapat dilakukan dengan kekerasan dan sekaligus, namun harus diselesaikan secara bertahap dimulai dari akar permasalahannya. Berdasarkan teori spiral di atas, perkembangan konflik dapat dijelaskan sebagai berikut :
Tahapan di atas dapat digambarkan sebagai berikut : Perkembangan atau eskalasi terjadinya suatu konflik juga dapat dikelompokkan menjadi empat tahapan, meliputi : Tahap DiskusiPada tahap ini masing-masing pihak yang terlibat konflik saling berbeda pendapat namun masih bisa untuk bekerja sama. Komunikasi diantara yang bertikai masih bisa dilakukan secara langsung sehingga perdebatan dan diskusi bisa dilakukan dimana persepsi terhadap lawan cukup akurat. Tahap PolarisasiDimana kedua belah pihak mulai ambil jarak, karena komunikasi tidak bisa langsung dan tergantung kepada interpretasi atau misinterpretasi, persepsi terhadap lawan menjadi kaku sedang isu yang dimunculkan tidak lagi obyektif sehingga memunculkan kecemasan psikologis. Tahap SegregasiTahap dimana kedua belah pihak yang sedang bertikai semakin menjauh, sehingga komunikasi menjadi terbatas pada ancaman dan persepsi yang ada menjadi kita yang baik dan mereka yang jahat, isu yang ditekankan adalah kepentingan nilai utama setiap kelompok/komunitas. Tahap DestruktifTahap permusuhan sepenuhnya, sehingga komunikasi yang terjadi hanya berupa kekerasan langsung atau sama sekali tidak ada hubungan. Isu-isu yang ditonjolkan hanya keselamatan kelompok terhadap agresi kelompok lain. Kemungkinan hasil yang diharapkan adalah sama-sama kalah (lose-lose game) dan usaha yang dipilih hanya untuk menghancurkan kelompok lawan.
e. Manajemen Konflik
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa menurut teori spiral dari Marx Simmel (Turner, 1991), konflik sosial mempunyai tahapannya sendiri, mulai dari adanya perbedaan, sikap apriori sampai dengan tahap tragedi. Mulai dari tidak menggunakan kekerasan sampai menggunakan kekerasan. Karena itu penyelesaiannya harus diupayakan sedini mungkin sebelum berkembang ke tahapan yang lebih tinggi. Sikap menghindari konflik dengan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, atau menunda-nunda penyelesaian konflik, hanya akan membuat konflik semakin parah. Sedangkan peredaman konflik tanpa menggali tuntas akar masalahnya, hanya menghasilkan kedamaian yang semu, dan waktu-waktu akan muncul kembali dalam bentuknya yang lebih dahsyat. Berdasarkan tahapan perkembangan konflik yang terjadi menurut teori Spiral tersebut, peran Polri dalam menghadapi konflik yang terjadi dapat digambarkan sebagai berikut : Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa dalam mengantisipasi konflik, tindakan apa yang harus dilakukan sangat tergantung kepada sejauh mana tahapan konflik terjadi. Sedangkan kegiatan-kegiatan antisipasi dalam bentuk preventif tidak hanya dilakukan sebelum konflik tersebut mencapai puncaknya (tragedi), tetapi juga pada saat konflik berada pada tahap tersebut, agar konflik tidak meluas dan mendalam. Selanjutnya, peran Polri dalam menghadapi konflik adalah sebagai berikut : Tahap I : Mencari De-eskalasi KonflikPada tahap ini situasinya masih diwarnai oleh pertikaian keras, yang mungkin dapat memakan korban jiwa. Dalam kondisi seperti ini peranan Polri disamping melakukan penjagaan dan pengaturan, harus berupaya untuk mencari waktu yang tepat untuk memulai (entry point) membantu proses penyelesaiannya. Tahap II: Intervensi Kemanusiaan dan Negosiasi PolitikPada tahap ini peran Polri yang diharapkan adalah melakukan intervensi untuk meringankan beban penderitaan korban perang melalui bantuan pengobatan dan sejenisnya, serta mulai mengawali untuk melakukan dialog, negoisasi, atau mediasi dengan tokoh-tokoh kunci yang terlibat konflik serta pihak-pihak lain yang terkait untuk mencari penyelesaiannya. Tahap Tahap III: Pemecahan Masalah (Problem-solving Approach)Pada tahap ini, peran Polri diarahkan untuk menciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi pihak yang bertikai untuk melakukan transformasi terhadap permasalahan yang dihadapinya ke arah perdamaian. Tahap IV: Menciptakan Perdamaian (Peace-building)Pada tahap ini, peran Polri diharapkan mampu menjadi ujung tombak dari upaya-upaya rekonsiliasi dan konsulidasi dengan seluruh elemen yang terkait dengan penyelesaian konflik secara intensif dan sungguh-sungguh, mengingat tahap ini merupakan tahapan terberat dan akan memakan waktu paling lama karena terkait dengan aspek struktural maupun horisontal. Perlu ditegaskan kembali bahwa dalam membantu menyelesaikan konflik, peran dan fungsi utama Polri disamping sebagai mediator, negosiator, peace keeping officer yang profesional dan proporsional, adalah kemampuan Polri untuk membantu menyelesaikannya secara cepat, komprehensif, dan tuntas sesuai akar masalahnya, sehingga tidak berlarut-larut, berkembang ke tahapan yang lebih tinggi, memunculkan konflik susulan, dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk memperjuangkan visi dan misinya, atau menjadikan konflik tersebut sebagai komoditas politik guna menarik simpati, perhatian, dan dukungan di berbagai daerah sehingga berkembang menjadi isu nasional atau bahkan internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, Harsja W, 1994, Ilmu Kepolisian: Suatu cabang ilmu pengetahuan yang baru, Jakarta : PTIK - Gramedia. Baylley, H David, 1994, Police For The Future, Jakarta : Cipta Manunggal Budiman, Aris, 2002, Konflik Sosial Di Pemukiman Kumuh RW 04 Kel. Manggarai Kec. Tebet Kodya Jakarta Selatan (Jurnal Polisi Indonesia), Jakarta : KIK Press Edward A.Thibauld, Lawrence M, lynch, R Bruce Mc Bride, 2001, Proactive Police Management, Friedman, R Robert, 1992, Community Policing, Jakarta : Cipta Manunggal Gunawan, Budi 2005, Polri Menuju Era Baru Pacu Kinerja Tingkatkan Citra, Jakarta : YPKIK Haris Peter dan Reilly Ben, 2000, Demokrasi dan Konflik Yang mengakar (Sejumlah Pilihan Untuk Negosiator). International IDEA Kelana, Momo, 2002, Memahami Undang-undang Kepolisian ( Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002), Jakarta : PTIK Press Laksana, D Chryshnanda, 2003, Pemolisian Komuniti (communty Policing) Dalam Menciptakan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Jurnal Polisi Indonesia), Jakarta : KIK Press Meliala, Adrianus, ------ 1999, Diktat Kuliah, Program Pasca Sarjana KIK UI, Jakarta. ------ 2001, Bagaimana Polisi Menghadapi Kekerasan Massa dan Kaitannya Dengan Penghormatan Terhadap Hak Asasi Manusia, Jakarta : KIK Press Miall Hugh, Woodhause Tom Ramsbotham Oliver, 2000, Resolusi Damai konflik Kontemporer, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Nitibaskara, R Tubagus, 2002, Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah, Jakarta : PT Gramedia Sarwono, W Sarlito, 2007, Anarkisme Tantangan Baru Bagi Polri (Jurnal Polisi Indonesia), Jakarta : KIK Press Simon Fisher, Jawed ludin, Steve Williams D, Richard Smith, Sue Williams, 2000, Mengelola konflik ketrampilan dan strategi untuk bertindak
Suparlan, Parsudi, ------- 2003, Pembangunan Komuniti, Konflik, dan PemolisianKomuniti, Jakarta : KIK Press ------- 2004, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Jakarta : YPKIK ------- 2004, Masyarakat & Kebudayaan Perkotaan (Perspektif Antropologi Perkotaan), Jakarta : YPKIK ------- 2005, Suku Bangsa dan Hubungan Antar Suku bangsa, Jakarta : YPKIK Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|