function slider_option(){ $con = '

'; echo $con; } add_action('web_footer','slider_option');

 
  • Decrease font size
  • Reset font size to default
  • Increase font size

LOGIN

Login terlebih dahulu untuk mengakses fitur website ini

MENU

Halaman Utama
Galeri Foto
Forum Diskusi
Direktori Alumni
Hubungi Kami
Agenda
Berita Alumni
Berita Umum

ADMIN PG

AGENDA PESAT GATRA

DOWNLOAD TERBARU

Download file update dari kami

MEMBER ONLINE

None

JEJARING SOSIAL

FACEBOOK

Home Berita Umum Manajemen Konflik
Manajemen Konflik
BERITA
Sabtu, 06 Maret 2010 15:24

phhTugas Polri saat ini semakin berat dalam menghadapi kekerasan-kekerasan kelompok masyarakat. Kekerasan kelompok yang merupakan dampak dari dinamika kehidupan masyrakat, berbangsa dan bernegara saat ini adalah puncak dari konflik-konflik sosial yang terjadi di masyarakat. Untuk memelihara kamtibmas di tengah konflik sosial yang memuncak tersebut, pengetahuan tentang manajemen konflik sangat diperlukan oleh setiap Perwira Polri.  Berikut adalah sedikit tulisan tentang manajemen konflik yang mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua.

a. Hakekat konflik sosial

Konflik dapat diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, pertikaian, pertentangan, benturan, atau clash antar manusia. Konflik bisa timbul bila ada perbedaan pendapat, pandangan, nilai, cita- cita, keinginan, kebutuhan, perasaan, kepentingan, kelakuan, atau kebiasaan. Perbedaan seperti itu bisa dialami di berbagai bidang kehidupan, seperti kebudayaan, agama, politik, ekonomi-sosial, ilmu pengetahuan dan pendidikan, dunia bisnis, pemerintahan, bahkan juga dalam bidang rekreasi dan gaya hidup.

Konflik dapat terjadi pada tingkatan personal dan pada tingkatan kelompok. Konflik sosial berati konflik yang terjadi dalam kelompok dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Meliala (2007) menegaskan bahwa konflik sosial adalah “situasi yang mengacu pada perbedaan tujuan serta kepentingan yang tajam antar orang per orang atau cara yang dipilih oleh orang per orang dalam mengatasi perbedaan tujuan dan kepentingan”.

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, konflik sosial sebenarnya merupakan kewajaran selama tidak menggunakan unsur pemaksaan dan kekerasan sebagai jalan keluarnya. Hal ini karena sering ada perbedaan kepentingan (conflic of interest) antara pemerintah yang berkuasa dengan mayarakat, sementara itu dalam kehidupan demokratis setiap orang bebas dalam menentukan pilihan (preferrence), sehingga kemungkinan terjadinya benturan selalu ada. Namun, benturan-benturan tidak selalu berkembang menjadi konflik, karena bisa saja masing-masing pihak bersedia mengalah demi kepentingan bersama, atau kepentingan yang lebih besar.

Permasalahannya, apabila konflik sosial yang terjadi sudah dinyatakan ke luar dan masing-masing pihak yang terlibat didalamnya tidak mau saling mengalah,  serta diikuti dengan gerakan-gerakan ke arah pemaksaan kehendak atau melalui kekerasan, maka konflik tersebut dapat menghilangkan rasa damai, persaudaraan, persatuan dan kesatuan, atau dapat menciptakan ketegangan, permusuhan, keresahan, ketakutan, kebencian, meracuni hidup bersama di masyarakat, dan mengancam keamanan dan ketertiban hidup bermasyarakat.

Adakalanya konflik dapat diatasi dengan mengadakan komunikasi dan negoisasi yang baik. Akan tetapi, sering kali konflik-konflik tidak dapat dengan mudah diselesaikan, tidak dapat diatasi, berlarut-larut, dan bermuara kepada timbulnya kekerasan dan perilaku anarkhis. Dalam keadaan seperti itu, perlu dicari strategi khusus untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik agar konflik tersebut dapat diselesaikan dengan baik tanpa harus ada kekerasan.

Selanjutnya Meliala (2007) menyatakan bahwa berdasar atas eskalasinya, konflik sosial dapat berwujud pada:

  1. Konflik sosial yang terbuka/pecah/vulgar/tumpah-ruah yang ditandai dengan insiden kontak fisik yang intens antar pihak-pihak yang berkonflik.
  2. Konflik sosial  yang semu/teralih/tertata/berada dalam lembaga yang ditandai dengan masih berperannya hukum dan aparat sebagai stabilisator serta pemerintah yang melakukan manajemen konflik.
  3. Konflik sosial yang tersembunyi/tertutup/laten/tersublimasi yang ditandai dengan munculnya berbagai indikasi tidak langsung yang memerlukan pemahaman: grafiti, musik protes, memilih kotak kosong, happening art.

b. Jenis-jenis konflik sosial

Konflik-konflik sosial yang terjadi dapat berupa konflik horisontal  dan konflik vertikal.

  1. Konflik horisontal

Konflik horisontal adalah konflik yang terjadi antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain. Hadiati (2007:8) menyebutkan bahwa “konflik horizontal merupakan pertentangan antara suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat  lainnya. Konflik horizontal antara lain dapat berupa tawuran, pertikaian antar kelompok, anarkisme dan lain-lain.

  1. Konflik vertikal

Hadiati (2007:8) menyatakan bahwa konflik vertikal adalah pertentangan kelompok masyarakat dengan pemerintah. Konflik ini dapat berupa aksi mogok, boikot, unjuk rasa, kerusuhan, anarkisme dan lain sebagainya.

Berdasarkan hal di atas, dapat dipahami bahwa Konflik vertikal adalah konflik yang terjadi dalam lapis kekuasaan yang berbeda, dimana yang satu memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari yang lainnya. Misalnya antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, antara pemegang kekuasaan dengan komunitas atau kelompok masyarakat, atau antara atasan dengan bawahan. Hal ini berbeda dengan konflik horisontal dimana konflik terjadi antar individu, kelompok masyarakat, atau  komunitas yang satu dengan yang lain dalam lapisan yang sama.

Apabila suatu bentuk konflik tidak segera mendapat penyelesaian, dapat berkembang ke bentuk konflik yang lain yang lebih kompleks. Misal, konflik horisontal dapat berkembang menjadi konflik vertikal, begitu juga dengan konflik vertikal yang dapat berkembang menjadi konflik horisontal.

Adapun dampak yang ditimbulkan dari konflik sosial  dapat bermacam-macam bentuk dan jenisnya. Meliala (2007) menyebutkan sebutan dari konflik sosial tersebut antara lain : kerusuhan, pertikaian, mogok/boikot, pertikaian primordial, permusuhan antar kampung, perkelahian pelajar, penghinaan agama, tawuran, pemisahan ras, main hakim sendiri, penjarahan, perlakuan berbeda.

 

c. Sumber konflik

Brogan (1989 dalam Jalal, 2002) berdasarkan hasil survai terhadap 92 konflik bersenjata di seluruh dunia pada periode waktu antara 1945 hingga 1989, tiba pada kesimpulan bahwa ‘the engine that powers most of the wars in today’s world is ethnic hostility’. Pernyataan ini menegaskan bahwa bahwa etnik merupakan dasar bagi kebanyakan konflik. Bagaimana hubungan ini bisa menjadi dasar konflik?  Sebenarnya hubungan tersebut tidak begitu langsung.  Banton (2000, dalam Jalal, 2002) menyatakan bahwa kekuatan hubungan itu dapat menjadi dasar bagi tindakan kolektif, apapun bentuk dan arahnya, untuk mengejar tujuan bersama.   Sementara itu kelompok etnik, yang di dalamnya termasuk agama- selalu bersifat politik.  Selalu ada elit politik yang sangat menguasai alam pemikiran anggota kelompok tertentu memanfaatkan solidaritas kelompok untuk kepentingan-kepentingan tertentu.  Hal lain yang patut diperhatikan adalah bahwa ikatan etnik selalu bersifat multidimensional yang berhimpit dengan ras, agama, dan kepentingan politik.  Jelaslah, bahwa elit politik, dalam pengertian yang luas- merupakan muasal kebanyakan (namun bukan seluruh) konflik di dunia ini.  Hal senada dikemukanan oleh Clausewitz (Jalal, 2002)  yang berkesimpulan bahwa perang, dan juga banyak bentuk kekerasan lain, tidak lain merupakan perpanjangan dari politik.

Adapun menurut Suripto (2002), sumber  konflik  secara umum meliputi :

  1. Kebutuhan (needs), yaitu esensi terhadap kesejahteraan dan keberadaan manusia.
  2. Persepsi (perceptions), yaitu cara pandang dan pemahaman terhadap suatu hal atau masalah.
  3. Kekuasaan (power), yaitu kemampuan yang dimiliki seeorang untuk mempengaruhi orang lain sesuai dengan kehendaknya.
  4. Nilai (values), yaitu kepercayaan atau prinsip dasar yang dipertimbangkan sebagai hal yang amat penting.
  5. Perasaan dan Emosi (feeling and emotions), yaitu respon yang timbul dari diri individu/kelompok dalam menghadapi konflik.

Selanjutnya ditegaskan pula bahwa potensi konflik yang berkembang di  Indonesia  meliputi isu atau masalah yang terkait dengan:

  1. Keterbukaan, demokratisasi, dan budaya kekerasan.
  2. Kesenjangan sosial, kecemburuan sosial dan alienasi.
  3. Dikotomi sipil – militer.
  4. Suku, agama, ras, dan antar golongan
  5. Hak asasi manusia.
  6. Pertanahan.
  7. Lingkungan hidup
  8. Pola hubungan pusat dan daerah.

 

Kedelapan isu atau masalah tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi seringkali terdapat hubungan korelasi satu sama lain sehingga pengaruhnya terhadap stabilitas keamanan dalam meluas dan mendalam.

Khusus dalam kaitan dengan otonomi daerah, dimana dalam lima tahun terakhir ini merupakan persoalan yang memunculkan konflik di berbagai daerah, terdapat isu-isu sentral yang dapat menjadi sumber konflik, meliputi :

  1. Masalah pemekaraan wilayah
    1. Masalah akuntabilitas kinerja
    2. Masalah transparansi dan keadilan
    3. Masalah pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup
    4. Masalah ketidakjelasan dan tumpang tindih kewenangan
    5. Masalah Penanganan konflik
    6. Masalah kebijakan publik
    7. Masalah korupsi
    8. Masalah Peraturan Daerah
    9. Tarik ulur kepentingan pusat-daerah

 

Nitibaskara (2006:234) menyebutkan pula bahwa “ dari segi kausanya (cause of conflict), secara garis besar konflik dapat dibagi menjadi dua yaitu kontemporer dan laten ”. Kelompok konflik kontemporer adalah konflik yang disebabkan karena adanya perubahan-perubahan tata sosial, politik dan ekonomi, sedangkan kelompok konflik laten merupakan konflik yang lahir dari konsekuensi dari masyarakat plural.

 

d. Tahapan

Perkembangan konflik sosial, mempunyai tahapannya sendiri, mulai dari perbedaan, ketidaksepakatan, persoalan, perselisihan, pertikaian, kekerasan, dan perang. Mulai dari tidak menggunakan kekerasan sampai menggunakan kekerasan. Konflik sosial juga dapat berawal dari masalah yang sederhana dan sifatnya pribadi kemudian berkembang ke masalah yang lebih kompleks dan melibatkan komunitas tertentu (komunal).

Dalam kajian teori Spiral dari Marx Simmel (Turner, 1991) dijelaskan bahwa konflik dapat dianalogkan dengan spiral. Apabila spiral ditekan dari atas, maka akan memantul ke atas, semakin keras ditekan akan semakin keras pula pantulannya, karena itu penyelesaiannya tidak dapat dilakukan dengan kekerasan dan sekaligus, namun harus diselesaikan secara bertahap dimulai dari akar permasalahannya.

konflik

Berdasarkan teori spiral di atas, perkembangan konflik dapat dijelaskan sebagai berikut :

  1. Konflik yang terjadi berawal dari adanya perbedaan seperti: perbedaan kepentingan, ide, gagasan dan kebutuhan.
  2. Konflik harus diselesaikan dari awal, sejak adanya perbedaan karena apabila konflik itu dibiarkan maka akan dapat menimbulkan apriori dari kedua belah pihak.
  3. Apriori yang berkelanjutan baik secara langsung maupun tidak langsung juga yang dapat berpengaruh kepada putusnya hubungan/komunikasi.
  4. Disharmonisasi adalah putusnya hubungan kedua belah pihak dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan kedua belah pihak (satu sama lain).
  5. Sikap yang apatis antara kedua belah pihak yang cenderung mengakibatkan masing-masing pihak berusaha mempengaruhi lingkungannya agar berpihak kepada kepentingan masing-masing, yang pada akhirnya bertujuan untuk membentuk komunitas sebagai kekuatan baru dari masing-masing pihak.
  6. Kecenderungan komunitas yang telah mempunyai kekuatan dalam ikatan kelompok yang sepaham dan seide yang cenderung menunjukan kekuatan dan eksistensinya baik kepada komunitas lain maupun komunitas lawan konflik.
  7. Sikap kepercayaan yang berlebihan, akan ditunjukan dalam bentuk warning (peringatan) bahkan ultimatum kepada komunitas lawan konflik antara lain dengan ancaman, tekanan dan teror.
  8. Kondisi tersebut merupakan potensi konflik yang antara komunitas baik etnis agama, ras dan golongan yang apabila ada faktor pemicu baik dari dalam maupun dari luar dapat menimbulkan yang lebih besar (tragedi) yang pada akhirnya akan menimbulkan kerugian di kedua belah pihak (jiwa, harta, infrastruktur masyarakat) dan lain-lain.

 


Tahapan di atas dapat digambarkan sebagai berikut :

Perkembangan atau eskalasi terjadinya suatu konflik juga dapat dikelompokkan menjadi empat tahapan, meliputi :

Tahap Diskusi

Pada tahap ini masing-masing pihak yang terlibat konflik saling berbeda pendapat namun masih bisa untuk bekerja sama.   Komunikasi diantara yang bertikai masih bisa dilakukan secara langsung sehingga perdebatan dan diskusi bisa dilakukan dimana persepsi terhadap lawan cukup akurat.

Tahap Polarisasi

Dimana kedua belah pihak mulai ambil jarak, karena komunikasi tidak bisa langsung dan tergantung kepada interpretasi atau misinterpretasi, persepsi terhadap lawan menjadi kaku sedang isu yang dimunculkan tidak lagi obyektif sehingga memunculkan kecemasan psikologis.

Tahap Segregasi

Tahap dimana kedua belah pihak yang sedang bertikai semakin menjauh, sehingga komunikasi menjadi terbatas pada ancaman dan persepsi yang ada menjadi kita yang baik dan mereka yang jahat, isu yang ditekankan adalah kepentingan nilai utama setiap kelompok/komunitas.

Tahap Destruktif

Tahap permusuhan sepenuhnya, sehingga komunikasi yang terjadi hanya berupa kekerasan langsung atau sama sekali tidak ada hubungan. Isu-isu yang ditonjolkan hanya keselamatan kelompok terhadap agresi kelompok lain.   Kemungkinan hasil yang diharapkan adalah sama-sama kalah (lose-lose game) dan usaha yang dipilih hanya untuk menghancurkan kelompok lawan.

 

e.  Manajemen Konflik

 

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa menurut teori spiral dari Marx Simmel (Turner, 1991), konflik sosial mempunyai tahapannya sendiri, mulai dari adanya perbedaan, sikap apriori sampai dengan tahap tragedi. Mulai dari tidak menggunakan kekerasan sampai menggunakan kekerasan. Karena itu penyelesaiannya harus diupayakan sedini mungkin sebelum berkembang ke tahapan yang lebih tinggi. Sikap menghindari konflik dengan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, atau menunda-nunda penyelesaian konflik, hanya akan membuat konflik semakin parah. Sedangkan peredaman konflik tanpa menggali tuntas akar masalahnya, hanya menghasilkan kedamaian yang semu, dan waktu-waktu akan muncul kembali dalam bentuknya yang lebih dahsyat.

Berdasarkan tahapan perkembangan konflik yang terjadi menurut teori Spiral tersebut, peran Polri dalam menghadapi konflik yang terjadi dapat digambarkan sebagai berikut :

konflik2

Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa dalam mengantisipasi konflik, tindakan apa yang harus dilakukan sangat tergantung kepada sejauh mana tahapan konflik terjadi.  Sedangkan kegiatan-kegiatan antisipasi dalam bentuk preventif tidak hanya dilakukan sebelum konflik tersebut mencapai puncaknya (tragedi), tetapi juga pada saat konflik berada pada tahap tersebut, agar konflik tidak meluas dan mendalam.

Selanjutnya,  peran Polri dalam menghadapi konflik  adalah sebagai berikut :

Tahap I : Mencari De-eskalasi Konflik

Pada tahap ini situasinya masih diwarnai oleh pertikaian keras, yang mungkin dapat memakan korban jiwa. Dalam kondisi seperti ini peranan Polri disamping melakukan penjagaan dan pengaturan, harus berupaya untuk mencari waktu yang tepat untuk memulai (entry point) membantu proses penyelesaiannya.

Tahap II: Intervensi Kemanusiaan dan Negosiasi Politik

Pada tahap ini peran Polri yang diharapkan adalah melakukan intervensi untuk meringankan beban penderitaan korban perang melalui bantuan pengobatan dan sejenisnya, serta mulai mengawali untuk melakukan dialog, negoisasi, atau mediasi dengan tokoh-tokoh kunci yang terlibat konflik serta pihak-pihak lain yang terkait untuk mencari  penyelesaiannya.

Tahap Tahap III: Pemecahan Masalah (Problem-solving Approach)

Pada tahap ini, peran Polri diarahkan untuk menciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi pihak yang bertikai untuk melakukan transformasi terhadap permasalahan yang dihadapinya ke arah perdamaian.

Tahap IV: Menciptakan Perdamaian (Peace-building)

Pada tahap ini, peran Polri diharapkan mampu menjadi ujung tombak dari upaya-upaya rekonsiliasi dan konsulidasi dengan seluruh elemen yang terkait dengan penyelesaian konflik  secara intensif dan sungguh-sungguh, mengingat tahap ini merupakan tahapan terberat dan akan memakan waktu paling lama karena terkait dengan aspek struktural maupun horisontal.

Perlu ditegaskan kembali bahwa dalam membantu menyelesaikan konflik, peran dan fungsi utama Polri disamping sebagai mediator, negosiator, peace keeping officer yang profesional dan proporsional, adalah kemampuan Polri untuk membantu menyelesaikannya secara cepat, komprehensif, dan tuntas sesuai akar masalahnya, sehingga tidak berlarut-larut, berkembang ke tahapan yang lebih tinggi, memunculkan konflik susulan, dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk memperjuangkan visi dan misinya, atau menjadikan  konflik tersebut sebagai komoditas politik guna menarik simpati, perhatian, dan dukungan di berbagai daerah sehingga berkembang menjadi isu nasional atau bahkan internasional.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Bachtiar, Harsja W,

1994, Ilmu Kepolisian: Suatu cabang ilmu pengetahuan yang baru, Jakarta : PTIK - Gramedia.

Baylley, H David,

1994, Police For The Future, Jakarta : Cipta Manunggal

Budiman, Aris,

2002,  Konflik Sosial Di Pemukiman Kumuh RW 04 Kel. Manggarai Kec. Tebet Kodya Jakarta Selatan (Jurnal Polisi Indonesia), Jakarta : KIK Press

Edward A.Thibauld, Lawrence M, lynch, R Bruce Mc Bride,

2001,              Proactive Police Management,

Friedman, R  Robert,

1992, Community Policing, Jakarta : Cipta Manunggal

Gunawan, Budi

2005,  Polri Menuju Era Baru Pacu Kinerja Tingkatkan Citra, Jakarta : YPKIK

Haris Peter dan Reilly Ben,

2000, Demokrasi dan Konflik Yang mengakar (Sejumlah Pilihan Untuk Negosiator). International IDEA

Kelana, Momo,

2002,  Memahami Undang-undang Kepolisian ( Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002), Jakarta : PTIK Press

Laksana, D Chryshnanda,

2003,  Pemolisian Komuniti (communty Policing) Dalam Menciptakan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Jurnal Polisi Indonesia), Jakarta : KIK Press

Meliala, Adrianus,

------     1999,              Diktat Kuliah, Program Pasca Sarjana KIK UI, Jakarta.

------     2001,  Bagaimana Polisi Menghadapi Kekerasan Massa dan Kaitannya Dengan Penghormatan Terhadap Hak Asasi Manusia, Jakarta : KIK Press

Miall Hugh, Woodhause Tom Ramsbotham Oliver,

2000,  Resolusi Damai konflik Kontemporer, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Nitibaskara, R Tubagus,

2002,  Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah, Jakarta : PT Gramedia

Sarwono, W Sarlito,

2007,  Anarkisme Tantangan Baru Bagi Polri (Jurnal Polisi Indonesia), Jakarta : KIK Press

Simon Fisher, Jawed ludin, Steve Williams D, Richard Smith, Sue Williams,

2000, Mengelola konflik ketrampilan dan strategi untuk bertindak

Suparlan, Parsudi,

-------  2003, Pembangunan Komuniti, Konflik, dan PemolisianKomuniti, Jakarta : KIK Press

-------   2004,              Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Jakarta : YPKIK

-------   2004,  Masyarakat & Kebudayaan Perkotaan (Perspektif Antropologi Perkotaan), Jakarta : YPKIK

-------   2005,  Suku Bangsa dan Hubungan Antar Suku bangsa, Jakarta : YPKIK

Undang-undang  No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 

 

 

ULANG TAHUN

  • Selamat Ulang Tahun kepada MOHAMAD YUDHA SETYABUDI, SIK pada hari Sabtu, 20 April 2024 genap berusia 54 Tahun

Archive